Kamis, 30 Mei 2013

Singaperbangsa Tempat Mangkal Jablay di Stadion Karawang

 Aku terbiasa duduk-duduk di sebuah warung kopi di bilangan Stadion Singaperbangsa, Kabupaten Karawang hingga tengah malam. Malam yang seharusnya sepi, tidak berlaku di sana. Justru malam adalah awal kehidupan bagi pencari nafkah malam hari di lokasi yang memang minim penerangan itu. Stadion, setidaknya dua stadion yang pernah ku kunjungi—Bekasi dan Karawang—memang langganan lokasi mangkalnya para waria dan wanita pekerja seks komersial (PSK).

Mereka keluar sebelum tengah malam. Berpakaian laksana wanita lengkap dengan aksesori simbol wanita, payudara dan pantat palsu. Banyak lelaki yang terkecoh yang mengira mereka adalah wanita pekerja seks komersial karena pakaian yang mereka kenakan tidak seseronok dulu. “Kalau tidak begini, kami pasti kena garuk,” kata waria yang biasa dipanggil Dahlia.

Kena garuk itu sama dengan ditangkap petugas. Dahlia bilang para petugas itu sebenarnya tidak bermaksud merazia para waria. Mereka hanya beroperasi untuk merazia wanita PSK. Kalau pun mereka terjaring, dengan pakaian sopan dan Kartu Tanda Penduduk (KTP), mereka akan dilepas. Berbeda dengan PSK yang waktu pelepasannya justru lebih sulit.

Pernah beberapa kali, aku ikut dalam operasi itu. Puluhan PSK bercampur waria berhasil dijaring. Mereka dimintai kartu identitas dan keterangan keberadaan mereka malam itu di luar rumah. Setelah dimintai keterangan, mereka diberikan ceramah oleh petugas Dinas Sosial di ruangan lainnya. Petugas itu nantinya akan membawa beberapa PSK untuk dibina di Palimanan, Cirebon. Jumlahnya tidak banyak, disesuaikan daya tampung di Palimanan. Sementara itu, di luar gedung tempat PSK itu dikumpulkan, tampak berjejer sejumlah lelaki berjaket kulit dan sebagian berkumis tebal di balik pintu gerbang yang dikunci. Sesekali mereka membujuk petugas membiarkan mereka masuk. “Mereka itu germo, Mba. Mereka mau menebus para PSK yang kena razia,” ucap petugas penjaga pintu gerbang.

Para PSK dikirim ke Palimanan untuk dibina, sedangkan waria dikeluarkan karena sebagian besar memiliki keterampilan. Mereka terampil di bidang rias pengantin. Kalau pesanan rias sedang tinggi, para waria itu jarang mangkal di stadion. “Boro-boro mangkal, capek yang ada.”

Tidak semua waria yang mangkal dan menerima “tamu” itu adalah waria yang berorientasi ekonomis. Waria-waria yang memiliki keterampilan mengaku menerima “tamu” untuk kepuasan mereka lebih utama, meskipun mereka mendapatkan bayaran atas itu. Mereka selalu pilih-pilih “tamu”. Kalau “tamu”-nya membuat mereka nyaman, bisa terbalik. Para waria itu akan dengan mudah memberikan apa yang dimaui “tamu” eksklusifnya itu. Sebaliknya, jika “tamu”-nya tidak menyenangkan, ditawari uang banyak pun mereka emoh.

Di stadion, para calon “tamu” yang akan memesan waria itu pun sedikit sudah aku baca kode-kodenya. Mereka sering kali menggunakan sepeda motor. Sedikit yang menggunakan kendaraan roda empat. Terkadang untuk menarik perhatian waria yang diincar, calon “tamu” bersepeda motor itu akan berputar-putar dan meraung-raungkan kendaraan. Kalau si warianya menghampiri dan terjadi transaksi, maka eksekusi mereka lakukan di tempat-tempat gelap. Kata beberapa waria, bayaran mereka dari sang “tamu” tidak lebih dari Rp 30 ribu. Bahkan ada yang hanya Rp 5 ribu.

Para waria itu tidak pernah lupa membawa kondom. Mereka menyadari betul bahayanya hubungan seks sesama jenis. Beberapa di antara mereka tewas karena penyakit menular seksual. Dan bagi mereka, akan tiba gilirannya,  mungkin sebentar lagi. Who knows?

Kendati profesi atau hobi mereka itu bisa dibilang di luar kebiasaan, mereka sensitif dengan omongan negatif yang dilontarkan orang. Seperti malam itu, salah seorang waria meminta tolong mencari cara menjawab surat pembaca di sebuah media lokal yang isinya agar pemerintah daerah memberikan penerangan lebih di sekitar stadion karena rawan dengan praktek prostitusi para waria. Waria itu merasa tersinggung.

Alasannya sederhana. Pelanggan dia, puluhan di antaranya adalah pegawai negeri sipil. Maka ketika ada surat pembaca demikian, si waria memandang ada kemunafikan kalau pemerintah daerah memberantas mereka padahal mereka juga pelanggan para waria. Selain kalangan tersebut, para waria juga mengaku tidak jarang menerima pelanggan dari kalangan pelajar. Tidak tanggung-tanggung, pelajar SMP bahkan murid SD juga ada yang jadi pelanggannya dengan tariff di bawah Rp 10 ribu.

Lepas dari masalah kalangan pelanggan para waria, pemerintah daerah memang semestinya memberikan fasilitas yang lebih untuk sebuah stadion. Apalagi Stadion Singaperbangsa namanya kini mulai menanjak sejak dipakai untuk Liga Super Indonesia. Penambahan penerangan tidak hanya “mengusir” waria, bisa jadi menambah keindahan kota dan mengurangi kejahatan. Sedangkan, di sisi para waria, sebagian tumbuh bukan karena keinginan tapi karena “bawaan”. Sebagian dari mereka adalah bukan kaum borjuis. Jadi seandainya mereka memiliki keterampilan, tidak mungkin mereka menjajakan diri seperti itu.

3 komentar: