Kamis, 30 Mei 2013

ORANG KARAWANG - Tidak menutup kemungkinan pemilihan kepada desa tahun depan anggaran pelaksanaannya tidak dibebankan kepada calon atau dapat dikatakan bebas anggaran. Untuk itu perlu revisi terlebih dulu terhadap Peraturan Bupati (Perbup) tentang Pilkades.
Hal itu diungkapkan Kabag Hukum Pemerintah Kabupaten Karawang H Kiki Saubari SH MH, kemarin, saat ditemui RAKA di ruang kerjanya. Hal itu, jelas Kiki, tak terlepas adanya polemik yang terjadi saat ini di masyarakat, terkait dengan biaya pelaksanaan yang dibebankan kepada calon.
Ditambahan Kiki, dalam Perbup Nomor 15 Tahun 2013 tentang  pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa sebenarnya sudah jelas dalam pasal 26 ayat (3) pembiayaan pelaksanaan pilkades tidak membebankan calon kepala desa, namun saat ini yang terjadi praktik di lapangan masih terjadi pelaksanaan pilkades masih meminta bantuan kepada calon. "Memang dari aspek hukum dengan nilai pertimbangan kami tidak menginginkan pilkades di bebankan pihak lain. Kita inginkan Perbub tidak itu tidak membebankan para calon, tapi pelaksanaan dilapangan tidak seperti itu," ucapnya.
Padahal dalam Perbup tersebut pemerintah daerah sebagai penyelenggara pilkades sudah memplot anggaran yang diperuntungkan dalam pelaksanaan pilkades, dan nominalnya bervariatif tergantung jumlah pemilih di desa yang menggelar pilkades, selain itu anggaran tersebut juga seharusnya sudah cukup untuk menggelar pilkades, karena sudah di hitung secara proposional. "Itu (Pilkades) sebenarnya sudah diakomodir oleh pemerintah daerah, itu belum anggaran pengamanan itu khusus dilapangan itu dianggarkan oleh pemerintah daerah, sebenarnya sudah diperhitungkan secara proposional," ujar Kiki.
Karena itu, dia heran ketika praktik di lapangan panitia masih meminta bantuan kepada para calon, padahal anggaran dari pemerintah daerah dalam pelaksaan pilkades sudah terperinci tercantum dalam Perbup. Jika memang panitia mengalami kekurangan, itu bisa disampaikan ke pemerintah daerah untuk diusulkan. "Makanya kalau menurut mereka (panitia) kurang itu dari komponen mana yang kurang silahkan usulkan, besarnya berapa rincian komponen mana yang tidak cukup, usulkan, atau masalah honor besar atau kecil itu silahkan di usulkan, kita tidak ingin ini menjadi polemik," jelasnya.
Padahal ketika sosialisasi pilkades ini sudah ditekankan bahwa pilkades ini tidak diperbolehkan memungut biaya dari para calon, dan jika calon tidak memberikan itu pun tidak menjadi masalah dan calon masih tetap mengikuti tahapan pencalonan. "Dalam sosialisasi tidak diperbolehkan memungut anggaran kepada calon, kalau kurang itu sebelumnya bisa diajukan, Itu kan sifatnya sukarela jadi  tidak ada hubungan dengan pencalonan, itu sah - sah saja calon terus mengikuti tahapan pilkades," tegas Kiki.
Kemungkinan besar dalam tahun depan akan ada revisi Perbup dan mendorong agar dalam pelaksanaan pilkades itu para calon terbebas dari anggaran. "Setiap tahun pasti ada revisi, dan kemungkinan tentang sumber anggaran itu pasti direvisi dan pilakdes harus bebas anggaran," tandasnya.

Hasil Yantap Diumumkan
Sementara itu, panitia pelayanan atu atap yang menyeleksi berkas-berkas para bakal calon kades yang akan bertarung memperebutkan kursi kepala desa akhir Juni mendatang, dikabarkan sudah merampungkan pekerjaannya. "Sudah selesai. Besok akan diserahkan ke desa masing-masing melalui kecamatan," ujar Kepala Bidang Pemerintahan Desa BPMPD Karawang Wawan Hernawan saat dihubungi per telepon, tadi malam.
Ia juga memberikan bocoran, tidak semua bakal calon kades yang mengikuti pelayanan satu atap lolos, beberapa bakal calon berkasnya ada yang tidak memenuhi kelayakan untuk mengikuti proses selanjutnya, yakni tes tertulis. Sementara, untuk nama-nama calon yang memenuhi persyaratan, akan diumumkan di Harian Umum Radar Karawang edisi Jumat (31/5) besok.
Sumber : Radar Karawang

Calo Perizinan Gentayangan di BPMTP


ORANG KARAWANG - Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (BPMPT) melalui Kepala Bidang Pengolahan BPMPT, Rosmalia Dewi SH, meminta kepada masyarakat untuk mengurus izin usaha sendiri. Hal itu dinilai perlu untuk memutus mata rantai percaloan yang justru membuat negara rugi.
Menurut Rosmala, mengurus izin itu tidak sulit selain itu transparansi juga lebih jelas. "Usahakan, agar satu lakukan sendiri (pemohon izin, red), agar pemohon  izin bener - bener mengerti kewajiban - kewajibannya. Jangan sampai izin diberikan tapi  tidak tahu, kalau dia (pemohon izin, red) mengurus sendiri kan bisa kita dijelaskan," ucapnya kepada RAKA, Rabu (29/5). Dia memaparkan dari 61 izin yang ada di BPMPT hanya ada 4 izin yang dikenakan biaya retribusi. Itu akibat campur tangan pihak ketiga.
Lebih jauh Dewi mengatakan, selain pemohon izin dapat memahami tentang kewajibannya, disisi lain juga dapat mencegah adanya biaya yang dikeluarkan oleh pemohon izin, karena tidak mungkin pemohon izin memberi kuasa ke pihak ke tiga tidak ada biayanya, meskipun izin yang dikeluarkan oleh BPMPT itu tanpat ada biaya retribusi. "Kalau lewat orang nanti tidak paham, selain itu untuk memastikan bener - bener transparan,  kalau mengurusi sendiri kan jika tidak ada biaya, ya tidak ada biaya, tapi coba kalau pakai pihak ketiga pasti kita (pemohon izin, red) beri imbalan ke dia," tuturnya.
Selain itu, dalam mengurus perizinan pun dikatakan Dewi sangat mudah dan cepat, dengan melengkapi persyaratan yang dibutuhkan. "Mengurus izin sangat mudah, kita punya  SOP (standar operasional prosedur) tinggal lengkapi persyaratannya,dan rata - rata itu jangka waktu  dua belas hari kerja itu selesai, kecuali izin lokasi, sebenarnya mudah dalam mengurus izin oleh karena itu jangan dilakukan oleh pihak ketiga," kata Dewi.
Dan hingga kini, Dewi tak menampik masih banyaknya pemohon izin yang menggunakan jasa pihak ke tiga, dan hal tersebut sangat disayangkan. "Masih banyak, kenapa sih masih seperti itu?, proses perizinan sudah jelas mudah,  biaya sudah jelas kenapa masih menggunakan pihak ketiga,"sesalnya.
Perlu diketahui  dari 61 izin yang dikeluarkan BPMPT, itu hanya 4 izin yang dikenakan biaya retribusi. Dewi mebyebutkan, 4 izin tersebut yaitu izin mendrikan bangunan (IMB), izin trayek (IT) angkutan kota, izin gangguan (IG/HO), dan izin usaha pengelolaan dan pemasaran hasil perikanan (IUPPHP). "Dari 61 izin, kita cuma 4 izin yang dikenakan retribusi, dan nilai retibusi di cantumkan di surat izin nya jadi lebih transparan," tandasnya.
Sumber : Radar Karawang

Singaperbangsa Tempat Mangkal Jablay di Stadion Karawang

 Aku terbiasa duduk-duduk di sebuah warung kopi di bilangan Stadion Singaperbangsa, Kabupaten Karawang hingga tengah malam. Malam yang seharusnya sepi, tidak berlaku di sana. Justru malam adalah awal kehidupan bagi pencari nafkah malam hari di lokasi yang memang minim penerangan itu. Stadion, setidaknya dua stadion yang pernah ku kunjungi—Bekasi dan Karawang—memang langganan lokasi mangkalnya para waria dan wanita pekerja seks komersial (PSK).

Mereka keluar sebelum tengah malam. Berpakaian laksana wanita lengkap dengan aksesori simbol wanita, payudara dan pantat palsu. Banyak lelaki yang terkecoh yang mengira mereka adalah wanita pekerja seks komersial karena pakaian yang mereka kenakan tidak seseronok dulu. “Kalau tidak begini, kami pasti kena garuk,” kata waria yang biasa dipanggil Dahlia.

Kena garuk itu sama dengan ditangkap petugas. Dahlia bilang para petugas itu sebenarnya tidak bermaksud merazia para waria. Mereka hanya beroperasi untuk merazia wanita PSK. Kalau pun mereka terjaring, dengan pakaian sopan dan Kartu Tanda Penduduk (KTP), mereka akan dilepas. Berbeda dengan PSK yang waktu pelepasannya justru lebih sulit.

Pernah beberapa kali, aku ikut dalam operasi itu. Puluhan PSK bercampur waria berhasil dijaring. Mereka dimintai kartu identitas dan keterangan keberadaan mereka malam itu di luar rumah. Setelah dimintai keterangan, mereka diberikan ceramah oleh petugas Dinas Sosial di ruangan lainnya. Petugas itu nantinya akan membawa beberapa PSK untuk dibina di Palimanan, Cirebon. Jumlahnya tidak banyak, disesuaikan daya tampung di Palimanan. Sementara itu, di luar gedung tempat PSK itu dikumpulkan, tampak berjejer sejumlah lelaki berjaket kulit dan sebagian berkumis tebal di balik pintu gerbang yang dikunci. Sesekali mereka membujuk petugas membiarkan mereka masuk. “Mereka itu germo, Mba. Mereka mau menebus para PSK yang kena razia,” ucap petugas penjaga pintu gerbang.

Para PSK dikirim ke Palimanan untuk dibina, sedangkan waria dikeluarkan karena sebagian besar memiliki keterampilan. Mereka terampil di bidang rias pengantin. Kalau pesanan rias sedang tinggi, para waria itu jarang mangkal di stadion. “Boro-boro mangkal, capek yang ada.”

Tidak semua waria yang mangkal dan menerima “tamu” itu adalah waria yang berorientasi ekonomis. Waria-waria yang memiliki keterampilan mengaku menerima “tamu” untuk kepuasan mereka lebih utama, meskipun mereka mendapatkan bayaran atas itu. Mereka selalu pilih-pilih “tamu”. Kalau “tamu”-nya membuat mereka nyaman, bisa terbalik. Para waria itu akan dengan mudah memberikan apa yang dimaui “tamu” eksklusifnya itu. Sebaliknya, jika “tamu”-nya tidak menyenangkan, ditawari uang banyak pun mereka emoh.

Di stadion, para calon “tamu” yang akan memesan waria itu pun sedikit sudah aku baca kode-kodenya. Mereka sering kali menggunakan sepeda motor. Sedikit yang menggunakan kendaraan roda empat. Terkadang untuk menarik perhatian waria yang diincar, calon “tamu” bersepeda motor itu akan berputar-putar dan meraung-raungkan kendaraan. Kalau si warianya menghampiri dan terjadi transaksi, maka eksekusi mereka lakukan di tempat-tempat gelap. Kata beberapa waria, bayaran mereka dari sang “tamu” tidak lebih dari Rp 30 ribu. Bahkan ada yang hanya Rp 5 ribu.

Para waria itu tidak pernah lupa membawa kondom. Mereka menyadari betul bahayanya hubungan seks sesama jenis. Beberapa di antara mereka tewas karena penyakit menular seksual. Dan bagi mereka, akan tiba gilirannya,  mungkin sebentar lagi. Who knows?

Kendati profesi atau hobi mereka itu bisa dibilang di luar kebiasaan, mereka sensitif dengan omongan negatif yang dilontarkan orang. Seperti malam itu, salah seorang waria meminta tolong mencari cara menjawab surat pembaca di sebuah media lokal yang isinya agar pemerintah daerah memberikan penerangan lebih di sekitar stadion karena rawan dengan praktek prostitusi para waria. Waria itu merasa tersinggung.

Alasannya sederhana. Pelanggan dia, puluhan di antaranya adalah pegawai negeri sipil. Maka ketika ada surat pembaca demikian, si waria memandang ada kemunafikan kalau pemerintah daerah memberantas mereka padahal mereka juga pelanggan para waria. Selain kalangan tersebut, para waria juga mengaku tidak jarang menerima pelanggan dari kalangan pelajar. Tidak tanggung-tanggung, pelajar SMP bahkan murid SD juga ada yang jadi pelanggannya dengan tariff di bawah Rp 10 ribu.

Lepas dari masalah kalangan pelanggan para waria, pemerintah daerah memang semestinya memberikan fasilitas yang lebih untuk sebuah stadion. Apalagi Stadion Singaperbangsa namanya kini mulai menanjak sejak dipakai untuk Liga Super Indonesia. Penambahan penerangan tidak hanya “mengusir” waria, bisa jadi menambah keindahan kota dan mengurangi kejahatan. Sedangkan, di sisi para waria, sebagian tumbuh bukan karena keinginan tapi karena “bawaan”. Sebagian dari mereka adalah bukan kaum borjuis. Jadi seandainya mereka memiliki keterampilan, tidak mungkin mereka menjajakan diri seperti itu.